Foto : Korban Penembakan oleh TNI di Timika (28/8/2015) |
Opini--Tanah Papua tanah kaya sumber daya alam (SDA) juga merupakan daerah yang penuh dengan kompleks persoalan. Kompleks persoalan berawal dari kesehatan, pendidikan, ekonomi, politik, hukum, kekurangan gizi, kelaparan, Kekerasan, pelanggaran HAM serta minoritas penduduk pribumi di Papua.
Tulisan ini mencoba meringkas data - data sekunder impunitas dari berbagai sumber kekerasaan di Papua sejak integrasikan wilayah administrasi Papua Barat ke dalam Negara Indonesia. Saat ini, kunjungan-kunjangan dari presiden Joko Widodo ke Tanah Papua seakan membawah perubahan dibidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, hukum, politik dll, melainkan ia memperhalus, menghilangkan kekerasan melalui dengan kata impunitas, dan dengan kunjungan dia membawah kehidupan rakyat sipil semakin parah dibalik politik turun lapangan dan blusukannya.
Melihat arti kata impunitas sendiri merupakan sebuah fakta yang secara sah memberikan pembebasan atau pengecualian dari tuntutan atau hukuman atau kerugian kepada seseorang yang telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Impunitas penekanan memang banyak diberikan kepada kasus-kasus pelanggaran hak asasi, karena keseriusan dampaknya terhadap para korban, tetapi sebetulnya impunitas mencakup setiap kegagalan berfungsinya hukum dalam melindungi korban tindak kejahatan dengan membiarkan pelakunya bebas dari tanggungjawab apa pun.
Bagi rakyat Papua Barat impunitas merupakan suatu kenyataan yang terus diami saat setelah wilayah Papua dicaplokan kedalam NKRI. Selama 46 setelah PEPERA illegal, rakyat dijadikan korban dari hampir semua tindakan yang tidak menghormati hukum dan hak asasi manusia. Dan dalam banyak kasus, meskipun tindakan-tindakan tersebut, bahkan jelas-jelas bertentangan dengan hukum kolonial sendiri, para pelaku tetap bebas mengulangi tindakannya dan terbebas dari jangkauan hukum. Hukum dan aparat penegak hukum bukan melindungi rakyat dan menghantarkan keadilan, tetapi justru berfungsi menekan rakyat.
Praktek Impunitas di Papua
Baru saja kita saksikan praktek impunitas yang dilakukan Presiden Ke-7 seorang Joko Widodo di tanah Papua. Menyelamatkan, memelihara pelaku dari kejahatan impunitas itu "Joko Widodo" terucap dengan nada kecoplosan mengatakan "biarkan masa lalu sudah berlalu" kita membuka lembaran baru, harapan baru, kata - kata ini hanya ada di LP Abepura-Papua.
Kata - kata dia menunjukan kegagalan sebuah pemerintah untuk mengambil atau melaksanakan tindakan hukum kepada pelaku. Gimana sembuhkan luka batin atas kepergian 10 juta jiwa rakyat Papua dimusnahkan oleh aparat Indonesia, sedangkan pihak korban menuntut keadilan hukum, atas penyembuhan tangisan, duka dan derita yang ada.
Membuka lembaran-lembaran lalu ada catatan-catatan sadis yang secara manusiawi tidak dilakukan seperti misalnya seorang manusia disiksa lalu dibunuh menggunakan besi panas dimasukan dalam dubur manusia kemudian keluar lewat mulut.
Catatan - catatan memelihara kejahatan negara " Ali Murtopa dalam buku " Kanibalisme modern dia menuliskan orang Papua mau merdeka cari tempat di langit atau kepulauan malanesia lain. Kami hanya butu kekayaan alam dari Papua.
Benarkah Sumber daya alam (SDA) yang dimaksud benar - benar dikuasai negara Indonesia, hanya sebuah ungkapan belaka. SDA di Papua semuanya diserahkan kepada pihak asing (imperialisme modern), Ali Murtopo hanya dinikmati ampas dari kelompok imperilsme itu.
Bukti nyata lain subversi hukum yang paling nyata adalah pengadilan hukum Indonesia, yang hingga akhir-akhir ini mengganggap pengungkapan pandangan politik secara terbuka sebagai tindakan subversi dan upaya merongrong kedaulatan negara, dan karenanya pelakunya harus dihukum, contohnya adalah pelaku pembunuh Theys Hiyo Eluwai, dia diberi pahlawan dengan pangkat berbintang atas bantuan negara pula dia dicalonkan gubernur di salah - satu provinsi di Jawa.
Pelaku adili di pengadilan militer namun hanya mendapatkan "supremasi hukum", pelaku disidangkan, dia bebas tugaskan di daerah lain di Indonesia. Semua hukum benar akan tetapi sulit untuk mendapatkan kebenaran itu sendiri.
Kami dalam Perang Dingin
Pada buku Filep Karma "kitong seakan setengah binatang" memberikan kesadaran rakyat, memberikan nafas baru untuk mempersiapkan mental, fisik untuk melawan perang dingin yang berlangsung di Papua Barat. Lihat kiri, dan kanankita tiap detik, Jam dan hari dibantai, dibunuh, disiksa manusia tak berdosa oleh aparat Indonesia, menjauhkan nilai kemanusiaan ketimbang dengan dali dengan isu penjajahan dari Kolonial Indonesia.
Perang dingin adalah lanjutan dari "impunitas" maka simak kasus- kasus kemanusiaan lama dan terbaru di Papua. Kasus kemanusiaan masa - masa reformasi Wamena berdarah, biak berdarah, uncen berdarah, wasior berdarah. Kasus - kasus terbaru yaitu empat pelajar dibantai di lapangan Karel Gobay Enarotali hingga kini pelaku tidak diungkap oleh Komisi Nasional (KOMNAS), Hak Asasi Manusia (HAM), pihak aparat TNI dan Polri di Papua dan Jakarta.
Hari Jumat, (28/8/2015) hari pesta kekerasaan oleh aparat TNI dan Polri yang bertugas di Papua, yaitu di Timika 2 orang meninggal dunia, 3 lainnya luka para, hari yang sama 1 orang meninggal dunia, 2 lainnya dianiaya sampai babak belur di dok 9. Jayapura, 2 orang meninggal dunia akibat kerusuhan di Sorong dan sekitarnya. Suami istri diketemukan dalam kali dengan tidak bernyawa di Timika. Seorang mahasiswa umel Mandiri ditabrak oleh orang tak Kenal di Jayapura.
Pada kasus - kasus ini tidak akan menjamin hukum, dan tempat jadikan promosi jabatan dan pangkat bagi TNI dan Polri maka rakyat yang bersatu melawan, karena telah menuju genosida tersistematis di Papua. Hukum tidak efektif untuk melindungi dan menjamin pelaksanaan rakyat. Kesadaran tidak efektifnya hukum harus kita semua merasakan maka masyarakat sipil sadar cara para penjajah yang ada ini sehingga dapat menutup celah bagi terjadinya impunitas, ia masih bergerak dan masih hidup di Papua.
Salah - satu pilihan bagi rakyat Papua adalah melawan kolonialisme dengan semangat kemauan politik rakyat sipil berdaulat melepaskan pemusnaan yang perang dingin yang berlangsung ini. Pendekatan baru yang dilakukan elit Jakarta, tidak akan membawah perubahan itu sendiri dan tidak akan membawa rasa keadilan bagi rakyat yang telah hidup dalam ketidakadilan di bawah rezim otoriter di Papua Barat.
Kita sedang dalam perang melawan kolonialisem Indonesia, kita sedang dijajah, dia bermain dengan cara impunitas maka rakyatlah sadar dan maju bersatu melawan kediktatoran rezim yang ada. ****
Penulis adalah pemuda Papua Barat, tulisan ini diterbitkan di www.kabarmapega.com edisi 31 Agustus 2015.